Jumat, 15 April 2016

Hancurnya perusahaan elektronik jepang

Hancurnya perusahaan elektronik jepang






Industri elektronik yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan mengalami kehancuran.  Perusahaan seperti sony, panasonic, sharp , toshiba dan sanyo melaporkan angka kerugian yang sangat besar. Diantara beberapa perusahaan tersebut, Sanyo harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps.
Salah satu raksasa elektronik Jepang, Sharp Corp. memprediksi akan tergelincir ke dalam kerugian bersih tahunan. Kerugian diperkirakan mencapai 30 miliar yen, atau sekitar Rp3,2 triliun. Mengutip Reuters, pada Selasa 3 Februari 2015, Sharp mengatakan laba operasi periode April-Desember turun 37 persen. Perkiraan kerugian Sharp tersebut, menambah daftar keterpurukan pabrikan elektronik Jepang. Setelah sebelumnya Panasonic mengumumkan akan menghentikan produksi di Tiongkok dan Meksiko.
Dikutip dari majalah Nabil Forum (januari-juni 2013, hlm 21-22) yg ditulis oleh Yodhia Antariksa, ada beberapa faktor yang menyebabkan hancurnya perusahaan elektronik jepang, antara lain:
  1. Faktor  Harmony Culture Error.  Jepang masih saja berpegang pada prinsip harmoni dan konsensus. “Di era digital seperti saat ini,” tulis Yodhia Antariksa, “kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. (Cepat dalam mengambil keputusan. Cepat dalam pengembangan produk. Cepat dalam peluncuran produk). Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengagungkan harmoni dan konsensus.” (Hlm 21).  Antariksa dengan gaya kocak bercampur sinisme menulis, ”Datanglah ke perusahaan Jepang dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekadar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan, begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.” (Hlm 21-22).
  2. Faktor Seniority Error. masih bertahannya kultur yang mengutamakan senioritas. Yodhia Antariksa meneruskan, “Datanglah ke perusahaan Jepang dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.” (Hlm 22).
  3. Faktor Old Nation Error. Mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori karyawan yang sudah menua. “Di sini berlaku hukum alam,” tulis Antariksa. “Karyawan yang sudah menua dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone (zona nyaman) yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.” (Hlm 22).
Sekarang, perusahaan elektronik Jepang sedang dilumpuhkan oleh perusahaan elektronik Korea yang lebih inovatif, dan juga Cina dengan harga yang lebih murah yang kini sedang membanjiri pangsa pasar global.
Itulah beberapa faktor yang jadi pemicu hancurnya  perusahaan elektronik jepang. Tanpa adanya perubahan dan inovasi, bukan tidak mungkin bila perusahaan tersebut benar-benar hancur dan mati.

1 komentar: