Sabtu, 16 April 2016

Kegagalan Blackberry

Kalau kita ingat beberapa tahun kebelakang, BlackBerry sebelumnya pernah menjadi salah satu perangkat telekomunikasi yang terfavorit. Mulai dari perusahaan-perusahaan hingga pemerintahan, banyak yang memilih BlackBerry untuk berkomunikasi. BlackBerry dianggap sebagai perangkat yang mempunyai keamanan tinggi di fitur pesan singkat seperti BlackBerry Messenger (BBM)dan juga e-mail. Sayangnya, kejayaan BlackBerry itu tidak berlangsung lama.

Munculnya platform baru seperti Android dan iOS, membuat BlackBerry mulai ditinggalkan oleh para penggunanya. Untuk itu, BlackBerry pun merilis sistem operasi (OS) BlackBerry 10. Namun, OS baru BlackBerry itu tetap tidak bisa merubah keadaan.Ketika BlackBerry menyadari mereka perlu menjangkau konsumen secara langsung, semuanya sudah terlambat. Pada November, 2008, BlackBerry meluncurkan ponsel layar sentuh, BlackBerry Storm, yang dianggap biasa-biasa saja. BlackBerry lalu mengalihkan fokus mereka ke Asia dan Amerika Latin, di mana pasar smartphone sedang meledak. Selama beberapa bulan, strategi ini tampaknya berhasil. Di Indonesia, di mana BlackBerry membuat strategi khusus, BlackBerry menguasai 47 persen pangsa pasar pada paruh pertama tahun 2011, naik dari hanya sembilan persen pada paruh pertama 2009, menurut perusahaan riset Canalys. Namun, kejayaan ini tak berlangsung lama karena BlackBerry dikepung oleh perusahaan-perusahaan Asia dengan produk-produk murah mereka.
BlackBerry mencoba bertahan, termasuk dengan membeli QNX Software Systems, yang sistem operasinya banyak dipakai perangkat medis dan komputerisasi mobil. Tetapi, langkah ini juga tak membuahkan hasil karena nyatanya, pada tahun 2011, tablet PlayBook yang menggunakan QNX, gagal meraih konsumen secara signifikan.
BlackBerry kemudian menunjuk CEO baru, Thorsten Heins pada awal tahun 2012. BlackBerry Q10 dan Z10 yang sangat diharapkan Heins sebagai penyelamat sekali lagi, gagal memenuhi harapan. Pada kuartal kedua 2013, BlackBerry hanya mengirimkan 6,8 juta smartphone, sekitar seperlima dari jumlah yang dijual Apple pada periode yang sama. 

Seperti dilansir Tech Hiveberikut 5 penyebab BlackBerry terancam bangkrut:

1. Terlambatnya OS BlackBerry 10

Sistem operasi BlackBerry 10 dan platformnya resmi diluncurkan pada awal tahun 2013. Namun, hal itu dinilai sudah terlambat. Pasalnya, sejumlah platform terbaru Android dan iOS sudah diluncurkan jauh lebih cepat dari BlackBerry. Hal itulah yang diduga membuat para penggemar BlackBerry mulai beralih ke platform lain.

2. Kurangnya aplikasi

Fitur yang ditawarkan OS BlackBerry 10 memang cukup menawan. Namun, aplikasi yang tersedia untuk OS tersebut masih kurang dibanding aplikasi di Android maupun iOS. Hal ini disebabkan karena BlackBerry 10 kurang didukung oleh pengembang aplikasi ternama seperti, Instagram, Path, dan Google Maps. Tentu hal ini cukup mengecewakan bagi pengguna BlackBerry.

3. Penjualan produk terbaru BlackBerry

BlackBerry belum lama ini telah merilis produk terbarunya, Z10, Q10, dan Q5. Meski sudah memakai OS BlackBerry 10, ketiga perangkat itu masih kurang laku. Bahkan, penjualan ketiga perangkat itu masih kalah dari produk Nokia Lumia yang berbasis Windows Phone 8.

4. PlayBook BlackBerry

Kegagalan dalam merebut pasar tablet juga dinilai sebagai penyebab keterpurukan BlackBerry. Tablet pertama BlackBerry, PlayBook ternyata sepi peminat. Harga yang mahal, tidak adanya fitur e-mail, dan kurangnya aplikasi menjadikan PlayBook tenggelam dalam pasar tablet.

5. Perubahan minat pasar

Pasar enterprise yang dulu menggunakan BlackBerry kini mulai beralih ke platform lain, seperti iPhone dan Samsung. Minimnya fitur entertainment membuat para pengguna BlackBerry pun mulai melirik produk lain. Bahkan, beberapa pengguna menilai BlackBerry membosankan.

Jumat, 15 April 2016

Hancurnya perusahaan elektronik jepang

Hancurnya perusahaan elektronik jepang






Industri elektronik yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan mengalami kehancuran.  Perusahaan seperti sony, panasonic, sharp , toshiba dan sanyo melaporkan angka kerugian yang sangat besar. Diantara beberapa perusahaan tersebut, Sanyo harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps.
Salah satu raksasa elektronik Jepang, Sharp Corp. memprediksi akan tergelincir ke dalam kerugian bersih tahunan. Kerugian diperkirakan mencapai 30 miliar yen, atau sekitar Rp3,2 triliun. Mengutip Reuters, pada Selasa 3 Februari 2015, Sharp mengatakan laba operasi periode April-Desember turun 37 persen. Perkiraan kerugian Sharp tersebut, menambah daftar keterpurukan pabrikan elektronik Jepang. Setelah sebelumnya Panasonic mengumumkan akan menghentikan produksi di Tiongkok dan Meksiko.
Dikutip dari majalah Nabil Forum (januari-juni 2013, hlm 21-22) yg ditulis oleh Yodhia Antariksa, ada beberapa faktor yang menyebabkan hancurnya perusahaan elektronik jepang, antara lain:
  1. Faktor  Harmony Culture Error.  Jepang masih saja berpegang pada prinsip harmoni dan konsensus. “Di era digital seperti saat ini,” tulis Yodhia Antariksa, “kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. (Cepat dalam mengambil keputusan. Cepat dalam pengembangan produk. Cepat dalam peluncuran produk). Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengagungkan harmoni dan konsensus.” (Hlm 21).  Antariksa dengan gaya kocak bercampur sinisme menulis, ”Datanglah ke perusahaan Jepang dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekadar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan, begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.” (Hlm 21-22).
  2. Faktor Seniority Error. masih bertahannya kultur yang mengutamakan senioritas. Yodhia Antariksa meneruskan, “Datanglah ke perusahaan Jepang dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.” (Hlm 22).
  3. Faktor Old Nation Error. Mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori karyawan yang sudah menua. “Di sini berlaku hukum alam,” tulis Antariksa. “Karyawan yang sudah menua dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone (zona nyaman) yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.” (Hlm 22).
Sekarang, perusahaan elektronik Jepang sedang dilumpuhkan oleh perusahaan elektronik Korea yang lebih inovatif, dan juga Cina dengan harga yang lebih murah yang kini sedang membanjiri pangsa pasar global.
Itulah beberapa faktor yang jadi pemicu hancurnya  perusahaan elektronik jepang. Tanpa adanya perubahan dan inovasi, bukan tidak mungkin bila perusahaan tersebut benar-benar hancur dan mati.